top of page
Search
Writer's picturejoshmarcycompany

Sejarah seni tari belum mati!

Di tanggal 14 Desember 2019, bertempat di Auditorium Hall Goethe-Institut Jakarta, saya datang untuk menonton pertunjukan tari oleh teman-teman koreografer muda yang tergabung dalam Dance Circle. Pertunjukan malam hari itu terdiri dari 2 karya pendek yang masing-masing oleh Eyi Lesar (Credo In Unum Deum) dan Try Anggara (Raga Ragu). Kedua pementasan karya berjalan dengan baik, walau sayangnya belum diimbangi dengan jumlah penonton yang datang — mungkin kurang dari 30 orang saat itu!


Selain karya tari yang ditampilkan, hari itu dilanjutkan dengan forum diskusi yang difasilitasi oleh sastrawan Afrizal Malna. Beliau membuka forum diskusi ini dengan sebuah pernyataan bahwa “sejarah seni tari telah selesai, bahwa sudah tidak ada lagi hal baru di seni tari”. Pernyataan ini — yang mungkin bisa kita sikapi juga sebagai sebuah pertanyaan, apakah benar sejarah seni tari telah selesai?. Kita mungkin tidak pernah mendengar suatu karya tari yang kemudian di klaim sebagai sejarah baru dalam seni tari, atau apakah memang perlu mencatatkan suatu peristiwa kesenian menjadi sebuah sejarah baru?. Apakah kemudian seni tari menjadi arena perlombaan agar bisa sejajar dengan tokoh-tokoh tari semacam Pina bausch, Martha Graham, Laban, dan lain-lain. Namun kembali kepada pernyataan Afrizal Malna saat itu, saya merasa hal ini memang harus disikapi dengan konteks yang layak agar kita tidak perlu buru-buru setuju, alih-alih mengimani hal tersebut.


Pernyataan beliau saat itu pun ikut “mengusik” saya selama berminggu-minggu ke depannya. Terlebih bagi saya (dan mungkin teman-teman koreografer muda lainnya), kami masih terus berjibaku dalam proses kekaryaan kami masing-masing. Tentu banyak hal yang mampir di pikiran saya selama dalam proses penciptaan, mungkin tentang bagaimana karya saya bisa menjadi signifikan dalam arus kehidupan baik pribadi maupun perannya dalam kehidupan sosial. Tetapi setelah berada dalam refleksi yang cukup dalam, ternyata pertanyaan terakhir tadi tidak terlalu penting, karena sudah pasti signifikan! here’s my thought.


Apabila kita melihat seni sebagai suatu produk, bisa jadi kita akan beranggapan bahwa tidak ada lagi hal baru yang bisa dinikmati. Lalu kita akan sama-sama tersesat dalam pencarian orisinalitas yang nampaknya sampai saat ini belum ada yang mampu menjelaskan hal tersebut. Menurut saya, kesenian seharusnya dipandang lebih dari sekedar komoditas, Seni adalah buah pemikiran; bagian dari pengetahuan dan budaya yang terus bergerak dalam arus dan dinamika kehidupan. Tentu seorang seniman akan memiliki pengaruh dari berbagai hal yang ia temui selama hidupnya; karya dari seniman lain, peristiwa-peristiwa dari pengalaman pribadinya secara individu maupun komunal, faktor sosial, politik, budaya, alam, spiritual, dan sebagainya. Hal tersebut yang kemudian lebur di dalam proses kreatif masing-masing seniman. Bisa dikatakan seniman dalam prosesnya adalah mencari sebuah pengetahuan — kita tidak perlu menilai apakah hal ini menjadi pengetahuan yang baru atau bukan.


Kembali menanggapi pernyataan Afrizal Malna sebelumnya, mungkin hal ini bisa jadi tepat konteksnya sebagai perangsang agar seniman muda tidak bernyaman diri di dalam pola-pola yang sudah ada, atau mencari wacana-wacana baru dalam berkesenian. Walaupun hal ini menurut saya terdengar sangat teknis daripada berbicara tentang ketulusan dalam berkarya. Saya lebih memilih untuk mengkritisi pernyataan tersebut dengan sikap, bahwa kesenian adalah buah pemikiran yang penting, lahir dari tumpukan memori subjektif yang mengembara dalam kehidupan setiap seniman. Berkarya dalam medium tari bukan kesia-siaan seperti menabur garam dalam lautan, tetapi selayaknya ikan yang lahir di samudra, sekecil apapun perannya tetap penting dalam sebuah ekosistem — ya, menurut saya buah pemikiran seniman tari adalah signifikan dan tentu memiliki tempat dalam sejarah panjang kesenian itu sendiri.


Dalam sebuah bacaan saya “What We Need Art For?” oleh Jean-Luc Nancy, dia berpendapat bahwa :


we need art to cause the appearance of something in the world and the same time of all that is given”.


Saya mengartikan kalimat tersebut bahwa kita membutuhkan seni untuk dapat mengalami, berpikir, merefleksikan, suatu peristiwa — “appearance” di sini tidak terkait dengan bagaimana suatu objek terlihat melainkan lebih kepada suatu peristiwa.


Peran seniman menjadi sangat penting di sini, sebagai yang mendedikasikan hidupnya, menggunakan dirinya sendiri sebagai medium penyampaian "peristiwa" tersebut - in the name of love and desire for wisdom and life itself. Dari sini, saya rasa sudah tidak perlu lagi menempatkan karya seni dalam suatu kategorial — atau malah mempertanyakan posisinya dalam sejarah kesenian. Justru hal tersebut yang adalah kesia-siaan. Lewat seni kita berkesempatan untuk mengalami peristiwa yang luhur, biarlah tetap begitu tanpa perlu kita terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevansinya menyesatkan. Tulisan ini saya tinggalkan di sini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan mungkin teman-teman lainnya, agar teruslah kita berkarya dengan tulus. Sejarah seni tari belum mati, karena kita adalah bagian dari sejarah tersebut.

22 views0 comments

Yorumlar


Post: Blog2_Post
bottom of page